Peristiwa ini sudah terjadi lama banget, dan aku memilih untuk tidak pernah menuliskannya di sini. Buat apa. Tapi akhir-akhir ini aku butuh untuk mengingatnya, dan kupikir mungkin orang lain yang membacanya juga bisa ingat kembali. Ingat fitrah kita sebagai manusia.
I’m not in the mood buat merangkai kalimat-kalimat indah. I just wanna share a piece of my life that I never proud of.
Aku lahir dan besar di tengah-tengah keluarga majemuk, keluarga yang nggak bakal aku tukar dengan apapun di dunia. Sejak kecil dididik secara kristen tetapi aku selalu memilih Islam bahkan sejak masih kecil–dengan caraku sendiri.
Singkat kata, entah apa pemicunya, awal-awal masa perkuliahanku aku merasa capek. Pikirku buat apa susah-susah solat, berlapar-lapar puasa, macam lagu ada-anak-bertanya-pada-bapaknya tapi nggak dijawab.
Aku tahu Tuhan itu ada. Tapi aku nggak tahu cara menghubungi-Nya. Secara kedua orang tuaku berbincang dengan Tuhan dengan cara berbeda. Aku sudah menyatakan pilihan, lantas beliau berdua menghargai pilihanku dengan tidak mengusiknya. Tapi kadang aku butuh diusik, butuh ditegur kalau nggak solat, butuh disamblek kalau nggak puasa..
Awalnya aku bilang pada diriku sendiri, “Oke, mungkin aku butuh rehat supaya netral.” Semakin jauhlah aku dari poros diri. Nggak tahu maunya apa, hati nyuruh ini tapi badan nggak gerak untuk melaksanakan. Semakin ingin tenang, semakin resah jadinya.
Temanku memberi saran, “Sementara kamu nggak perlu solat, nggak perlu berdoa dengan cara tertentu, ngobrol-lah sama Tuhan dengan caramu. Terserah gimana yang penting ngobrol!” Ya kan absurd. Makin lontang lantung, bingung ngawalin ngobrolnya gimana. Tsah.
Aku ini jarang ingat sama mimpi. Kalaupun ingat pasti cuma samar-samar, atau sepotong-sepotong. Tapi satu mimpi yang mendatangiku di masa-masa kritis itu sangat jelas dan hingga kini masih teringat detil-detil kecil di mimpi itu.
Aku berjalan di atas rel kereta, saat itu gelap nggak kelihatan apa-apa. Tapi di sekelilingku banyak orang yang berjalan juga, ada yang searah denganku, ada yang berlawanan arah. Hampir semua dari mereka membawa senter, tapi aku tidak. Dari kelebatan cahaya-cahaya senter itu aku bisa melihat bahwa terdapat banyak rel yang simpang siur.
Aku tetap berjalan di salah satu rel. Suara hiruk pikuk orang yang lagi bingung ini mengarah kemana. Sampai rasanya lama sekali berjalan, tiba-tiba aku sadar bahwa suasana jadi sepi, mungkin aku terpisah jauh dengan orang-orang.
Dari malam beranjak ke pagi, matahari muncul. Aku bisa melihat pakaian yang sedang kukenakan dalam mimpi itu. Gaun putih dengan kerudung yang bertahtakan berlian yang kinclong abis. Bukan seleraku sih, jadi aneh juga kenapa bisa muncul dalam mimpi aku pakai baju begitu. Rapat sekali hingga sejengkal pun kulitku tak tampak.
Aku berjalan memasuki pelataran yang luas, bersih, tapi sepi. Kemudian aku solat dzuhur di masjid di dalam pelataran tersebut. Sebelum sholat aku menoleh ke sebelah kanan. Adalah Ka’bah yang kulihat dari kejauhan. Tersaput kabut tipis. Dalam hatiku aku bilang, “Sudah sampai.”
Setelah sholat 4 rakaat, aku melipat rukuh dan pergi dari masjid. Di pelataran tersebut aku berpapasan dengan seorang wanita cantik. Tinggi besar, tinggiku hanya mencapai pahanya. Memakai kerudung dan jubah berwarna biru dongker. Matanya besar dan cantik. Nggak mirip siapa-siapa, nggak mengingatkanku sama sosok siapapun yang pernah aku temui dalam hidupku.
Aku gemetar melihatnya tersenyum menghampiriku. Aku tahu ini nggak masuk akal, tapi dalam hati aku berucap, ‘ini Ibu Hawa’.
Beliau mengucapkan salam, “Assalamu’alaikum..”
Aku nggak bisa menjawab. Rasanya gemetar. Rasanya mau menangis mengadu ini itu sama Ibu.
Beliau mengucapkan salam kedua kali, “Assalamu’alaikum..”
Aku berusaha menjawab salam tapi tidak bisa.
Kemudian aku menangis sampai terbangun beneran.
Gitu aja sih.
Please don’t say about tafsir mimpi. Aku nggak tertarik. Mimpi itu spesial bagiku karena sejak itu mimpi tersebut menjadi daily reminder jika aku jauh dari ‘rel’. Karena tiap mengingatnya, hingga kini, bisa membuatku gemetar dan sesenggukan.
Mimpi itu mengingatkanku pada masa kecilku. Saat sembunyi-sembunyi mendengarkan orang sholat, saat sering mbrebes mili tiap mendengar suara orang mengaji lewat speaker mushola, saat merasa mellow dan sendu tiap mendengar lagu-lagu Hadad Alwi.
Suara yang jarang diperdengarkan di dalam rumah namun terasa familiar. Seperti bayi yang tertidur jika mendengar suara ‘sssshh ssshh’ karena mengingatkannya akan suara desiran air tempat dia hidup dalam rahim sebelumnya. Lantunan ayat-ayat suci memiliki efek tersebut. Mungkin itulah yang sering kudengarkan jauuuh sebelum aku terlahir.
Tapi, mungkin seiring bertambah dewasa, dosa menumpuk, kebanyakan dengerin playlist top chart lagu pop apa kek, hati berkerak, kapalan gak karuan, jadi panggilan tersebut sulit untuk menembus. Harusnya secara rutin dibersihkan supaya nggak jadi keloid. #apasihdok
So, buatku mimpi tersebut adalah locus minorisku. Di mana masih ada celah yang dibuat Allah ketika itu untuk meraihku kembali. Baiknya Allah.
Kata Prof. Taat, dosen filosofiku, tubuh manusia itu sebenarnya patuh pada Allah. Hanya saja si manusianya itu yang suka membohongi tubuhnya. Contohnya, ketika awal-awal manusia mau berbuat curang atau jahat pasti jantungnya deg-degan, pikiran nggak fokus, keringat dingin, gerak tubuh kikuk. Itu karena tubuhnya sedang mengadu sama Allah karena diajak berbuat jelek. Tubuhnya protes. Tapi lama kelamaan, karena sering berbuat jelek, tubuhnya mulai biasa juga diajak kong kalikong. Itu yang bahaya, ketika tubuh ikutan gak protes diajak berbuat jelek.
I’m not saying that I’m a goody-goody girl. I’m just trying to keep a memento, that I belong to Allah.